Skip to content

MANDI

March 29, 2013

Home » Dasar-Dasar Islam » Fiqih Islam » Fiqih Ahkam » Fiqih Thaharah: Hukum Haidh, Nifas, dan Jinabat, serta Mandi
Fiqih Thaharah: Hukum Haidh, Nifas, dan Jinabat, serta Mandi

Rubrik: Fiqih Ahkam | Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah – 28/09/11 | 08:30 | 29 Shawwal 1432 H

0 Komentar
7557 hits
Email 5 email

Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Kajian ini masih dalam topik pembahasan Fiqih thaharah. Kali ini yang akan dibahas adalah mengenai Haidh, Nifas, Jinabat, dan mengenai mandi. Selamat menyimak.

A. Haidh, Nifas dan Jinabat

Haidh: adalah darah yang keluar dari wanita dalam keadaan sehat, minimal sehari semalam menurut Syafi’iyyah, dan tiga hari menurut mazhab Hanafi. Umumnya tujuh hari, dan maksimal sepuluh hari menurut mazhab Hanafi, dan lima belas hari menurut mazhab Syafi’iy. Jika darah itu berlanjut melebihi batas maksimal disebut darah ISTIHADHAH.
Nifas: yaitu darah yang keluar dari wanita setelah melahirkan. Minimal tidak ada batasnya, dan maksimal empat puluh hari sesuai dengan hadits Ummu Salamah: Para wanita yang nifas pada zaman Rasulullah saw menunggu empat puluh hari. HR Al Khamsah, kecuali An Nasa’iy.
Jinabat: Seseorang menjadi junub karena berhubungan seksual, atau karena keluar sperma dalam kondisi tidur maupun melek/terjaga.
Hukum wanita haidh dan nifas bahwa mereka tidak berpuasa dan wajib qadha hari Ramadhan yang ditinggalkan; tidak wajib shalat dan tidak wajib qadha shalat yang ditinggalkan; diharamkan baginya dan suaminya berhubungan seksual; tidak diperbolehkan juga baginya dan orang yang junub melakukan thawaf; menyentuh mushaf, membawanya, membaca Al Qur’an kecuali yang sudah menjadi doa atau basmalah; tidak boleh juga berada di masjid; sebagaimana diharamkan pula atas orang yang junub melakukan shalat bukan puasa.

B. Mandi

Mandi adalah mengalirkan air suci mensucikan ke seluruh tubuh. Dasar hukumnya adalah firman Allah:

“… dan jika kamu junub maka mandilah” (QS Al Maidah: 6)

1. Penyebab Wajib Mandi

Keluar mani disertai syahwat pada waktu tidur maupun terjaga, oleh laki-laki maupun wanita, seperti hadits Rasulullah SAW: الماء من الماء “air itu dari air” (HR Muslim). Hal ini disepakati oleh tiga imam mazhab. Berdasarkan hadits ini maka keluar mani tanpa disertai syahwat, seperti karena sakit, kedinginan, kelelahan, dsb tidak mewajibkan mandi. Asy Syafi’i menyaratkan kewajiban mandi karena keluar mani, oleh sebab apapun meskipun tanpa syahwat.
Hubungan seksual, meskipun tidak keluar mani, karena sabda Rasulullah SAW: “Ketika sudah duduk dengan empat kaki, kemudian khitan bertemu khitan, maka wajib mandi” (HR Ahmad, Muslim dan At Tirmidzi).
Selesai haidh dan nifas bagi wanita. Karena firman Allah: “…. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 222)
Mayit muslim, wajib dimandikan oleh yang hidup, karena sabda Nabi: “…mandikanlah dengan air dan daun bidara.” (Muttafaq alaih), kecuali syahid di medan perang.
Orang kafir ketika masuk Islam, karena hadits Qais bin Ashim bahwasanya ia masuk Islam, lalu Rasulullah menyuruhnya agar mandi dengan air dan daun bidara. HR Al Khamsah kecuali Ibnu Majah.

2. Mandi Sunnah

Seorang muslim disunnahkan mandi dalam keadaan berikut ini:

Hari Jum’at, karena sabda Nabi: “Jika datang kepada salah seorang di antaramu hari Jum’at maka hendaklah mandi.” (HR Al Jama’ah), disunnahkan mandinya sebelum berangkat shalat Jum’at
Mandi untuk shalat Idul Fitri dan Idul Adha, hukumnya sunnah menurut para ulama
Mandi karena selesai memandikan jenazah, sesuai sabda Nabi: “Barang siapa yang selesai memandikan hendaklah ia mandi.” (HR Ahmad dan Ashabussunan).
Mandi ihram bagi yang hendak menunaikan haji atau umrah, seperti dalam hadits Zaid bin Tsabit bahwasanya Rasulullah SAW melepaskan bajunya untuk ihram dan mandi. (HR Ad Daruquthniy Al Baihaqi dan At Tirmidziy yang menganggapnya hasan)
Masuk untuk memasuki kota Mekah. Rasulullah SAW melakukannya seperti yang disebutkan dalam hadits shahih, demikian juga mandi untuk wukuf di Arafah.

3. Rukun Mandi

Niat, karena hadits Nabi: Sesungguhnya amal itu dengan niat. Dan juga untuk membedakannya dari kebiasaan, dan tidak disyaratkan melafalkannya, karena tempatnya ada di hati.
Membasuh seluruh tubuh, karena firman Allah: “… (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa: 43). Dan hakikat mandi adalah meratakan air ke seluruh tubuh.
Mazhab Hanafi menambahkan rukun ketiga yaitu: berkumur, menghisap air ke hidung, yang keduanya sunnah menurut imam lainnya.

4. Sunnah Mandi

Membaca basmalah
Membersihkan najis fisik jika ada
Berwudhu (berkumur dan menghisap air ke hidung)
Mengulanginya tiga kali dalam setiap membasuh organ tubuh dan memulainya dari kanan lalu kiri
Meratakan air, mensela-sela jari, rambut, membersihkan ketiak, lubang hidung dan pusar.
Menggosok dan terus menerus tidak terputus basuhannya

5. Cara Mandi

Dari Aisyah dan Maimunah RA: bahwasanya Rasulullah saw jika mandi junub – mau mandi – memulai dengan mencuci dua tangannya dua atau tiga kali, kemudian menuangkan air dari kanan ke kiri, lalu membersihkan kemaluannya, lalu berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat, kemudian mengambil air dan dimasukkan ke pangkal rambut, kemudian membasuh kepalanya tiga guyuran sepenuh tangannya, kemudian mengguyurkan air ke seluruh badan, lalu membasuh kakinya (Muttafaq alaih).

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/09/14948/fiqih-thaharah-hukum-haidh-nifas-dan-jinabat-serta-mandi/#ixzz2OvJ6gJLh
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

From → Uncategorized

Leave a Comment

Leave a comment